#Surga_Dalam_Luka
#Chapter_1
Kolab: Farisya dan Nurhida
Namanya Nafisa. Seorang gadis cantik, baik, dan penurut. Terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan oleh orang tuanya. Dia dijodohkan dengan anak sahabat ayahnya.
Karena tidak mau membuat orang tuanya kecewa, terutama ayahnya. Nafisa terpaksa menerima perjodohan tersebut. Selain karena tidak mau membuat orang tuanya kecewa, Nafisa yakin. Jika Allah, telah menyiapkan yang terbaik untuknya.
"Nak, apa yang kamu pikirkan?" tanya Liana, ummi Nafisa.
"Tidak ada, Ummi," jawab Nafisa. Kemudian, dia melengkungkan bibir tipisnya.
Liana melangkah mendekati Nafisa. Dia mengelus lembut kepala Nafisa sambil bertanya, "Kamu yakin, mau menerima perjodohan ini, Nak?"
"Atas izin Allah, Nafisa yakin, Ummi. Mungkin, dia sudah menjadi takdir Nafisa."
___
Seorang pria bertubuh kekar tampak gusar. Sebut saja namanya Ali. Seorang Dokter muda lulusan terbaik dari Singapura. Sejak tadi, dia hanya mondar-mandir memikirkan perkataan ibunya. Jika dia, akan dijodohkan dengan anak sahabat ayahnya.
"Sena ... kenapa kamu pergi?" lirih Ali seraya mengusap kasar wajahnya.
"Andai kamu tahu, ibu akan menjodohkan aku dengan anak teman ayah. Aku mohon ... kembalilah. Agar perjodohan ini, tidak terjadi," lirih Ali dengan gusar.
Tidak lama kemudian, terdengar suara seseorang menarik knop pintu kamar.
"Ali!" panggil Abdul, ayahnya. Ali hanya berdehem tanpa menoleh.
"Besok kamu akan bertemu dengan calon istrimu." Ali membuka matanya lebar. "Lebih tepatnya, besok adalah acara lamaranmu," sambung Abdul.
"Secepat itukah?" tanya Ali kaget.
"Iya. Lebih cepat, lebih baik."
***
Ke esokan harinya, keluarga Ali bersiap-siap untuk datang ke rumah Nafisa.
"Ali, cepatlah nanti kita terlambat!" ucap Abdul sedikit berteriak.
"Kalau terlambat, kita batalkan saja perjodohan ini gampangkan," jawab Ali santai sambil menuruni anak tangga satu-persatu.
"Jaga bicaramu, Ali! Jangan membuat ayah malu dengan cara membatalkan perjodohan ini!" ucap Abdul dengan nada tinggi.
"Sudah-sudah jangan bertengkar, nanti kita terlambat. Dan kamu, Ali. Jaga bicaramu! Ibu tidak pernah mengajarimu untuk tidak sopan kepada orang yang lebih tua," ucap Fatimah, ibu Ali menengahi pertengkaran itu.
Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan ayahnya, Ali langsung beranjak keluar dan segera memasuki mobil.
"Ayah, Ibu, buruan!" teriak Ali dari dalam mobil.
Abdul dan Fatimah saling melempar pandangan saat mendengar panggilan dari Ali. Ada kekehan kecil di sana.
***
Liana sudah menyiapkan banyak jamuan untuk menyambut kedatangan calon menantunya. Beliau menyiapkan semua ini sendiri. Sebab, Liana ingin memberikan kejutan untuk putri tunggalnya.
"Nafisa, hari ini keluarga dari calon suamimu akan datang untuk mengkhitbahmu, Nak," Ada getaran hebat yang tidak biasa dari tubuh Nafisa.
"Lalu?" tanya Nafisa dengan polosnya.
Liana menghampiri Nafisa yang sedang duduk di depan meja rias. "Lalu, kamu mempersiapkan diri."
Mata Nafisa membuka lebar. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan umminya. Liana paham ketidak mengertinya Nafisa. Dia langsung membuka lemari, lalu mengambil gamis dengan khimar yang senada.
"Pake ini!" Nafisa menaikan sebelah alisnya.
Liana mendorong Nafisa untuk memasuki kamar mandi. "Ayo pake ... buruan, Nafisa!"
***
Kurang lebih menghabiskan waktu satu jam untuk sampai di kediaman Nafisa. Sesampainya di sana, kedua orang tua Nafisa berdiri di depan pintu untuk menyambut kedatangan mereka.
"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh," ucap kedua orang tua Ali.
"Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarokatuh," jawab kedua orang tua Nafisa kompak.
"Mari, silakan masuk, Pak, Bu. Nak Ali, mari," Liana mempersilahkan masuk dan mengarahkan mereka untuk duduk di ruang keluarga.
Sekarang mereka semua sudah berada di ruang keluarga, dan tinggal menunggu kedatangan Nafisa untuk membicarakan acara lamaran ini.
"Sebentar ya, saya mau manggil Nafisa dulu," ucap Liana seraya mengembangkan senyum.
Sesampainya di kamar Nafisa, Liana takjub melihat Nafisa dengan penampilan tidak seperti biasanya. Polesan tipis make uplah yang membuat Nafisa tampak beda. Sebab, Nafisa adalah gadis yang jarang, bahkan tidak pernah mengenakan make up.
Liana mendekati Nafisa yang sedang duduk di depan meja rias. "Nak, calon suamimu sudah datang. Dia tampan ... sekali," Nafisa menunduk. "Ya Allah ... secepat inikah," batin Nafisa.
***
Satu persatu Nafisa dan Liana menuruni anak tangga. Semua orang takjub melihat keanggunan Nafisa. Ini adalah pertama kalinya orang tua Ali melihat Nafisa. Namun, mereka yakin jika Nafisa adalah gadis yang baik dan pantas untuk Ali.
Tidak terkecuali Ali, laki-laki itu juga sempat takjub melihat kecantikan Nafisa, walau hanya sementara.
"Lihat, calonnya sangat cantik kan, Yah?" ucap Fatimah meminta pendapat suaminya.
"Ya, sangat cantik. Sangat cocok dengan putra kita," ucap Abdul menimpali.
"Mari, duduk di sini, Nak," ucap ibu Ali menepuk tempat duduk di sampingnya. Secara tidak langsung, Fatimah meminta Nafisa untuk duduk di sampingya.
Nafisa hanya mengangguk, lalu menghampiri Fatimah. Kemudian, dia mencium punggung tangan Fatimah dengan khitmad. Namun, tidak kepada Ali dan Abdul. Nafisa menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Seperti yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Jadi gini, Pak. Maksud kedatangan kami ke sini, ingin mengkhitbah putri bapak untuk menjadi istri putra kami, Ali," Abdul menoleh ke arah Ali.
"Jika saya setuju saja, Pak. Namun, bagaimana dengan Nafisa dan Ali?" tanya Dani.
"Ali, Ali menyetujui perjodohan ini, Pak," ucap Abdul dengan menatap ke arah Ali.
Ali menatap Abdul tajam, dia tidak menyangka dengan jawaban Ayahnya bahwa dia menyetujui perjodohan ini.
"Lalu, bagaimana dengan Nafisa?" sambungnya.
"Bagaimana, Nak?" tanya Dani. "Bismillah. Atas izin Allah, Nafisa menerima perjodohan ini."
Semua orang mengucapkan syukur dan Allhamdulillah atas resminya perjodohan ini, mereka semua terlihat bahagia. Namun, tidak dengan Ali.
"Baik. Jika Ali dan Nafisa setuju, maka pernikahan akan dilaksanakan satu minggu lagi," ucap Abdul sambil memperbaiki duduknya.
Semua orang mengarah ke sumber suara. Dengan santainya, Abdul hanya bertanya. "Gimana?" Semua orang hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa secepat ini sih!" ucap Ali membatin.
"Bukannya lebih cepat, lebih baik? Tenang saja, Ali sudah pasti setuju," ucap Abdul dengan mimik serius.
Tangan Ali mengepal. Rahangnya mengeras. "Apa-apaan ini!" gumamnya.
"Baiklah. Nafisa, bagaimana denganmu?" tanya Dani.
"Nafisa ngikut aja, Bi," ucap Nafisa menunduk.
Ali menggeleng tidak percaya dengan jawaban Nafisa. Ali berharap, jika Nafisa akan meminta untuk mengundurkan acara pernikahan ini, tapi ternyata tidak.
Dalam hati, Ali terus saja menggerutu. Ali kecewa atas kejadian ini dan tindakan kedua orang tuanya. Tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi dan Ali tidak bisa membantah semua ini.
"Sekarang, lihat Sena! andai kamu 'tak pergi perjodohan ini tidak akan terjadi. Tapi ... kenapa kamu pergi, Sena," ucap Ali dalam hati.
Hari, tanggal, dan semua perlengkapan sudah di bahas saat itu juga. Nafisa dan Ali hanya diam. Kedua orang tua merekalah yang merencakan semuanya.
"Ya Allah ... semoga Mas Ali bisa menjadi suami yang baik untukku," batin Nafisa ketika tidak sengaja melihat Ali menatapnya tajam.
"Baik. Semua sudah siap. Dan acara akan di laksanakan satu minggu lagi," ucap Abdul.
Tidak lama setelah usai membahas persiapan pernikahan, Abdul dan istrinya pamit undur diri. Kedua orang tua Nafisa mengantar mereka sampai ke depan. Setelah mereka pergi, Liana mengambil kedua tangan Nafisa.
"Ummi tidak percaya, jika putri Ummi ... akan menikah secepat ini," ucap Liana sambil tersenyum di hadapan Nafisa
"Do'akan yang terbaik untuk Nafisa, Ummi," tatapan sendu terpancar dari mata Nafisa.
"Selalu, Nak." Ummi menarik sudut bibirnya.
Bersambung ...
0 Response to "Surga Dalam Luka"
Post a Comment